BAB I
PENDAHULUAN
Karya sastra disusun oleh dua unsur yaitu unsur
intrinsik dan ekstrinsik, tidak terkecuali pada puisi. Unsur intrinsik karya
sastra adalah unsur-unsur penyusun karya sastra yang terdapat di dalam karya
tersebut, sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur penyusun
karya sastra yang berada di luar karya sastra (Dewi:2008).
Unsur
intrinsik menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur
suatu karya sastra seperti tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran,
latar dan pelataran, dan pusat pengisahan. Unsur intrinsik hanya memandang
unsur-unsur yang terdapat di dalam karya saja. Penilaian yang tepat untuk
menentukan unsur intrinsik ini adalah penilaian objektif, karena penilaian
tersebut hanya menilai unsur-unsur yang terdapat di dalam karya yang dinilai.
Penilaian objektif menganggap sebuah karya sastra adalah karya yang berdiri
sendiri tanpa mengaitkan karya sastra dengan sesuatu yang berada di luar karya
itu, baik itu penyairnya, muapun aspek-aspek lain yang mempengaruhi.
Unsur
ekstrinsik sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi,
psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom,
tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan
sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan,
pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu
sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan
bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan
lain-lain.
Menurut
Tuhusetya (2007), sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari
dimensi kemanusiaan. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada
umumnya dijadikan sumber ilham bagi para sastrawan untuk membuat suatu karya
sastra.
Seorang
sastrawan memiliki penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, dan memiliki
daya intuitif yang peka. Kelebihan-kelebihan itu jarang sekali ditemukan pada
orang awam. Dalam hal ini, karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar
belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sastrawannya.
Suatu
keabsahan jika dalam karya sastra terdapat unsur-unsur ekstrinsik yang turut
mewarnai karya sastra. Unsur-unsur ektrinsik yang dimaksud seperti filsafat,
psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari
pengarang dalam memandang dunia. Karena unsur-unsur ekstrinsik itulah yang
menyebabkan karya sastra tidak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur
mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
Sastrawan
berupaya untuk menyalurkan obsesinya agar mampu dimaknai oleh pembaca. Visi dan
persepsinya tentang manusia di muka bumi bisa ditangkap oleh pembaca, dan
pembaca terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak
memuaskan kebuasan hati. Persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif dan nasihat
bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkanunsur-unsur
tersebut merupakan unsur paling esensail yang perlu digarap dengan catatan
tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab jika sebuah tulisan hanya mengumbar
pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek
estetika, namanya bukan karya sastra. Tulisan tersebut hanyalah sebuah laporan
jurnalistik yang mengekspose kejadian-kejadian negatif yang tenagh berlangsung
di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran unsur-unsur tersebut bersama
dengan proses penggarapan kara sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Puisi
Secara
etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya
berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry
yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,
1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat
atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang
mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau
yang amat suka kepada dewa-dewa.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat kaitan dan hubunganya.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat kaitan dan hubunganya.
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi
merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu
memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata
disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu
seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestrabunyi.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah
unsur-unsur penyusun karya sastra yang berada di luar karya sastra (Dewi:2008).
Makna puisi
adalah arti atau maksud atau isi yang terkandung dalam puisi yang dapat
ditangkap oleh pembaca sesuai tingkat pengalaman dan pengetahuannya. Oleh
karena itu, makna puisi akan berbeda-beda manakala penafsirnya tidak sama.
Bahkan, bukan tidak mungkin akan bertolak belakang. Dalam penafsiran, pasti
akan ada unsur subjektivitas. Kedewasaan, kemantapan pengalaman, dan
pengetahuan penafsir akan menentukan mutu rumusan makna puisi. Dengan demikian,
hanya penyairnya yang tahu makna persis puisi tersebut.
Beberapa hal yang berkaitan dengan apresiasi puisi adalah pemahaman terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik puisi meliputi tema, diksi, bait/larik, rima, makna, amanat. Adapun unsur ekstrinsiknya adalah latar belakang penulis, keadaan masyarakat pada saat puisi tersebut digubah, sosial, politik, biografi penulis, adat, dan sebagainya. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena hal tersebut sangat berkaitan dimana unsur instrinsik merupakan bagian daripada puisi, sedangkan unsur ekstrinsik merupakan bagian dari si penulis/penyair itu sendiri.
Beberapa hal yang berkaitan dengan apresiasi puisi adalah pemahaman terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik puisi meliputi tema, diksi, bait/larik, rima, makna, amanat. Adapun unsur ekstrinsiknya adalah latar belakang penulis, keadaan masyarakat pada saat puisi tersebut digubah, sosial, politik, biografi penulis, adat, dan sebagainya. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena hal tersebut sangat berkaitan dimana unsur instrinsik merupakan bagian daripada puisi, sedangkan unsur ekstrinsik merupakan bagian dari si penulis/penyair itu sendiri.
Puisi tersebut
sangat dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik dimana sebuah puisi akan sangat
berbeda maknanya ketika si penulis puisi sedang dalam keadaan tenang dibanding
sedang dalam perasaan kalut. dari kondisi si penulis dapat kita rasakan melalui
karya yang dibuatnya tersebut. Sebuah puisi dapat tercipta berkat situasi
sosial yang sedang tidak berjalan seperti biasanya, puisi terbentuk karena
adanya budaya, karena pertentangan politik, serta hal yang lainnya.
Terkadang kita
tidak memahami makna dari sebuah puisi itu sendiri. Hal itu terjadi karena mungkin
pemahaman kita tentang puisi masih dangkal, kita hanya membacanya dengan
sekilas tanpa memaknai puisi tersebut, dan mungkin juga maknanya sangat sulit
ditemukan karena penggunaan bahasanya mungkin terlalu sukar untuk duipahami
serta masih banyak lagi hal yang membuat kita sulit mengerti untuk memahami
ataupun menemukan makna sebuah puisi.
Chairil Anwar
Masyarakat
sastra pada umumnya telah mengenal seorang Chairil Anwar, seorang penyair besar
yang juga pelopor dari Angkatan ’45. Walaupun ia seorang penyair besar, namun
itu tidak mencerminkan kehidupannya yang nyaman seperti seseorang yang agung
dan mempunyai sebuah nama besar. Kehidupannya begitu sederhana dan dinamis,
bahkan lebih banyak masa-masa sulit yang ia hadapi.
Chairil
Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal
berjudul Semangat yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi
yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943 ini banyak menyita perhatian
masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas, Chairil berani
memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi
tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap tidak sesuai
sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu. Puisi tersebut tentu bukan Chairil
ciptakan tanpa tujuan, hanya saja tujuan dari puisi tersebut yang belum
diketahui oleh masyarakat.
Chairil
Anwar adalah seorang penyair yang menuliskan apa saja yang ditemukannya dan
dihadapinya dalam pencarian itu, sebagaimana perkataan Sastrowardoyo dalam
Ginting (2007), bahwa pengarang seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang,
Ajip Rosidi, dan Goenawan Mohammad terombang-ambing di antara dua kutub,
kebudayaan daerah dan kota, tradisi dan modern, Timur dan Barat. Lebih lanjut
lagi, dikatakan bahwa nasib manusia perbatasan adalah buah dari pencarian
hendak modern itu.
Jadi, puisi Aku
ini adalah buah hasil dari pencarian Chairil sebagai manusia perbatasan yang
terombang-ambing diantara dua kutub sebagaimana yang dikatakan oleh
Sastrowardoyo. Selain itu, puisi Aku ini adalah puisi Chairil Anwar yang
paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya. Alasannya, sajak Aku
bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan
penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ’binatang jalang’
yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan
tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Puisi Aku
dan Chairil Anwar adalah dua sisi yang tak pernah bisa dilepaskan. Sebagaimana
pengarangnya, puisi Aku ini juga mempunyai banyak sisi yang menarik
untuk diketahui lebih dalam. Oleh karena itu, penulis memilih judul tersebut
untuk mengetahui lebih lanjut tentang puisi Aku dan keterkaitannya
dengan Chairil Anwar sebagai pengarang dari puisi tersebut.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Aku adalah
sebuah puisi karya Chairil Anwar, karya ini
mungkin adalah karyanya yang paling terkenal dan juga salah satu puisi paling
terkemuka dari Angkatan '45. Aku
memiliki tema pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin
"hidup seribu tahun lagi", namun ia menyadari keterbatasan usianya,
dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya.
Unsur Ekstrinsik dalam Puisi Aku
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang
berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku
mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga
hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi
tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru
Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan
Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu
uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
Penjelajahan
Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang
lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah
menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga
Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair
sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun
sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang
masih cenderung mendayu-dayu.
Secara
makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk
dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas
dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan
tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri.
Pada lirik pertama, chairil
berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (2).
(2) Kalau
sampai waktuku
Waktu yang
dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang
dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil adalah
penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan
ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa
ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’
yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa
saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap
yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.
(3) 'Ku mau
tak seorang 'kan merayu
Pada kutipan
(3) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan
menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai
kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak
menanggapi pembuicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang
dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik
selanjutnya pada kutipan (4).
(4) Tidak
juga kau
Kau yang
dimaksud dalam kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini
menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah
mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Berbicara
tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau
buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
(5) Tidak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Zaini, salah
seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil
dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil
hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini
menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya
suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama.
Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Dalam
kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar
seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa
sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena
itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah
ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan
aturan dalam kumpulannya.
(6) Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari
pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai
sesuatu. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang
‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan
peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan
diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’
seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga
menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah.
Semua cacian
dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari
sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik
selanjutnya.
(7) Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang
menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian.
Pada kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut.
Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan.
Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau
peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap
bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca,
dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu
adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah
memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan
ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar
pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain
menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Dari puisi yang berjudul Aku diatas, dapat kita
ketahui bahwa nilai sosialnya sangatlah besar.
Kalau sampai
waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Dimana disini sangat jelas
diungkapkan penyair bahwa setiap manusia akan menemui ajal sehingga Chairil
berharap untuk setiap orang agar tidak merasa sedih apabila nantinya ia sudah
tiada walaupun pada akhir puisinya ditulis “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Menurut penyair sendiri, kematian sudah begitu dekat namun dengan harapan yang
begitu besar untuk tetap hidup lebih lama lagi.
Dari segi keagamaan (religi) juga
sangat jelas terlihat dalam puisi “Aku” dimana pada baris terakhir, sipengarang
mangatakan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Kalimat tersebut jelas merupakan
Doanya terhadap Sang Pencipta dimana ia berharap hidup seribu tahun lagi karena
ia sendiri masih takut menghadapi ajal yang sudah begitu dekat dengan dirinya.
Kehidupannya yang begitu sulit membuat ia berserah kepada Tuhan.
Biar peluru
menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
“biar peluru menembus kulitku”
menggambarkan sakitnya atau pahitnya hidup yang sedang ia rasakan pada saat itu
dan “aku tetap meradang menerjang luka dan bisa kubawa berlari berlari hingga
hilang pedih peri” menyatakan hal penyerahan dirinya terhadap Tuhan sehingga
segala kepedihan yang ia rasakan pada saat itu hilang.
Biografi Singkat Chairil Anwar
Chairil
Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari
pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih
mrmpunyai pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia. Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang
tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian
itu, Chairil mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.
Chairil
masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia
keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak
satu pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai,
Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi
waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama,
seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.
Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya
dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil
di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini memberikan kesan
lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu kepedihan
terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu
dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam kutipan (1).
(1) Bukan kematian benar yang
menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas
debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah
nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa
menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai
tanda bahwa ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil
sering kali kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Chairil
Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di
masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru,
namun ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah
pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis
oleh Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Sejak kecil,
semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan,
pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa
kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah
pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam
mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah
yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan
tidak pernah diam.
Jassin juga
pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami pernah
bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui
kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu
kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah
dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat,
dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu
masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi
pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur
panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah,
Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil
pun menjadi duda.
Tak lama
setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada
beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa
TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil
memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi
perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk
sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah
yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di bekasi harus
meminta maaf saat mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, “Saya
minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan
dunia Chairil Anwar”, (Haniey:2007).
Tak sedikit
buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah sebagai
berikut. Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas
dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini
Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata
penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948),
terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), dan
terjemahan karya John Steinbeck.
Selain itu,
karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara
lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan
karya-karyanya di antaranya seperti Sharp gravel, Indonesian poems, oleh
Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960), Cuatro poemas indonesios
[por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca,
1962), Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam
(New York, New Directions, 1963), Only Dust: Three Modern Indonesian Poets,
oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969), The
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan
oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970), The
Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock
Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press,
1974), Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh
Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978), dan The Voice of the Night:
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens,
Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993).
BAB III
KESIMPULAN
- Unsur ektrinsik adalah unsur-unsur dari luar karya sastra yang mempengaruhi isi karya sastra. Contoh unsur ekstrinsik adalah psikologi, sosial, Agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik.
- Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ia meninggal pada pukul 15.15 WIB, 28 April 1949. Penyebab kematiaannya terdapat beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebabnya. Umur Chairil 27 tahun. Namun, kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian.
- Unsur ekstrinsik dalam puisi Aku ini adalah Psikologi pengarangnya, Chairil Anwar. Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencarian corak bahasa ucap baru yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Ia menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Sajak Aku adalah sajak yang paling memiliki corak khas dari beberapa sajak Chairil lainnya. Sajak trsebut bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Daftar Pustaka
Dewi. 2008. Pengertian
Fungsi dan Ragam Sastra. dewi-biru.blogspot.com. (Diakses pada tanggal
24 Maret 2008)
Tuhusetya, Sawali. 2008.
Karya Sastra yang Baik Tak Lepas dari Dimensi Hidup. sawali.info. (Diakses
pada tanggal 24 Maret 2008)
Haniey. 2007. Biografi
Chairil Anwar (1922—1949). penyair.wordpress.com. (Diakss pada tanggal 15
November 2007)
Ginting, T. D. 2007.
Pertem(p)u(r)an Chairil Anwar dengan Tuhan. www.puisi.net. (Diakses pada tanggal 15 November 2007)
Aidit, Sobron. 1999. Bab
1: Chairil Anwar. www.lallement.com. (Diakses
pada tanggal 15 November 2007
id.wikipedia.org/wiki/Aku_(puisi)