Dalam kajian linguistik umum bahasa, baik sebagai langage maupun langue,
lajim didefinisikan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat
arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat
interaksi sosial. Sebagai sebuah sistem, bahasa juga bersifat sistematis,
artinya secara keseluruhan bahasa itu ada kaidah-kaidahnya. Lalu,
secara sistematis artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sistem
tunggal, melainkan ada subsistem-subsistemnya, yang subsistemnya
gramatikal dan subsistem semantik.
Sebagai
lambang artinya, setiap satuan bahasa seperti kata dan kalimat, tentu
ada yang dilambangkannya. Kemudian, karena lambang bahasa itu berupa
bunyi, maka lambang bahasa yang berbunyi [kuda] digunakan untuk
melambangkan atau menandai ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’ dan lambang bahasa yang berbunyi [air] digunakan untuk
melambangkan atau menandai ‘sejenis zat cair yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari’.
Lambang
bahasa itu bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada “hubungan wajib”
antara lambang dengan yang dilambangkan. Jadi, kalau ditanyakan “mengapa
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai” disebut atau
dilambangkan dengan bunyi [kuda] tidaklah bisa dijelaskan. Begitu juga
tidak bisa dijelaskan “mengapa zat cair yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari” disebut atau dilambangkan dengan bunyi [air].
Akibat
dari sifat arbitrer ini, maka akan kita dapati adanya sebuah lambang
yang digunakan untuk melambangkan dua maujud yang berbeda. Misalnya,
lambang yang berbunyi [pacar] digunakan untuk melambangkan dua maujud
yaitu, ‘kekasih’ dan ‘ pemerah kuku’ atau “inai”. Bisa juga dua lambang
yang berbeda atau lebih digunakan untuk melambangkan maujud yang sama.
Misalnya lambang [mati] , [wafat], dan [meninggal] sama-sama
melambangkan keadaan ‘yang tadinya bernyawa menjadi tidak bernyawa’.
Kejadian lain akibat dari sifat arbitrer ini bisa menjadikan sebuah
lambang bunyi menjadi berbeda dari yang dilambangkan terdahulu. Misalnya
lambang yang berbunyi [ceramah], dulu digunakan untuk melambangkan
keadaan ‘bawel, cerewet’; tetapi sekarang digunakan untuk melambangkan
maujud ‘uraian mengenai suatu bidang ilmu di muka orang banyak’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar